Realitas dan Karya Sastra

Realitas dan Karya Sastra

Terbaiknews - ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)

Ada anggapan bahwa karya sastra harus menggambarkan realitas. Anggapan itu ditambahi pula dengan penekanan bahwa realitas harus digambarkan secara jujur apa adanya.

INI membuat karya sastra, yang termasuk dalam ranah estetika (filsafat keindahan), mendapat tambahan beban tugas etika (filsafat moral), yaitu kejujuran. Alhasil, lahirlah karya-karya sastra yang dimuliakan berkat kejujuran semacam itu. Pemikiran ini dianut oleh para pemuja realisme klasik atau realisme borjuis.

Sebenarnya, seperti apakah realisme yang diagung-agungkan itu? Pramoedya Ananta Toer dalam risalah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia memberikan penjelasan. Baginya, realisme borjuis ’’merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas an sich tanpa membutuhkan kritik.’’ Padahal, menurut Pram, ’’Setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.’’ Dengan analisis dialektika Marx, Pram melihat realitas yang tampak sebagai hanya sebuah tampilan dari realitas sesungguhnya yang tidak tampak. Faktanya, realitas yang tampak telah banyak dan sering kali dimanipulasi demi dan oleh berbagai kepentingan, entah itu politik, agama, maupun ekonomi.

Realitas dalam Fiksi

Adalah Franz Kafka yang menjungkirbalikkan realitas borjuis itu dalam novel Metamorfosis. Pagi hari setelah bangun tidur, Gregor Samsa berubah menjadi kecoak. Sementara itu, dalam novel Proses, setelah bangun tidur, K mendapati dirinya ditahan tanpa mengetahui kesalahannya. Realitas yang ditampilkan Kafka bukanlah realitas yang dihasilkan oleh akal saat menangkap objek, tapi sebuah realitas mimpi sebagaimana disampaikan Erich Fromm. Serupa yang terjadi dalam mimpi, sebuah realitas tidak akan tampil apa adanya, melainkan telah jalin-menjalin dengan realitas lain sehingga menghasilkan sebuah realitas baru yang berbeda dengan realitas yang dilihat manusia saat terjaga.

Samsa dan K merupakan satire terhadap realisme borjuis yang mendewa-dewakan realitas apa adanya. Padahal, karya sastra bukanlah produk salin tempel dari apa yang dicerap indra manusia. Seorang pengarang juga bukan kertas karbon atau mesin cetak. Pengarang sama dengan manusia lain yang mempunyai mimpi, harapan, obsesi, dan keinginan, juga membawa kepentingan ideologi dan politiknya sendiri. Ketika dia menumpahkan kerja kreatifnya ke dalam karya, apa yang tertulis itulah dirinya. Kendati dia berkata bahwa apa yang ditulisnya merupakan realitas apa adanya, tetap saja realitas dalam karyanya adalah realitas fiksi hasil imajinasi pengarang itu berdasar ideologi kepengarangannya.

Bisa saja seorang pengarang menggambarkan, umpamanya, sebuah adegan pelecehan seksual sedetail-detailnya di dalam novelnya dengan dalih itulah realitas. Bahwa realitas harus ditampilkan secara jujur apa adanya sebagai pengingat masyarakat bahwa kejadian tersebut benar-benar ada. Namun, sebagai penikmat karya sastra, kita bisa pula mempertanyakan sikap si pengarang terhadap penyintas. Dalam kasus ini, di manakah dia berdiri? Apa sesungguhnya yang ingin dia sampaikan melalui penggambaran semacam itu?

Tersingkirnya Pengarang Perempuan

Kita jangan percaya begitu saja saat mendengar seorang pengarang berkata bahwa dia hanya mengalihwahanakan secuplik realitas ke dalam karyanya. Tidak perlu pula kita mengintip biografinya atau mencari latar belakang mengapa dia menghasilkan karya begitu. Biografi dan kata-kata si pengarang bisa saja sudah dipoles sedemikian rupa demi menggelembungkan dirinya. Terkadang, para penikmat karya sastra merasa segan dengan pengarang yang citranya telah menggelembung berkat sejejer penghargaan yang diraihnya. Akibat keseganan ini, penilaian yang dihasilkan mudah menjadi bias. Cukuplah kita menelisik karya yang dihasilkan si pengarang demi mengetahui siapa sebenarnya dia di balik citranya.

Sensor Realitas, Bisakah?

Lantas, bagaimana semestinya realitas ditampilkan dalam karya sastra? Bila realitas tidak bisa ditampilkan apa adanya, seperti dalam adegan pelecehan seksual tersebab hal tersebut akan membuat penyintas kian trauma, bagaimana realitas itu harus ditampilkan? Apakah realitas perlu disensor?

Jika mau, seorang pengarang bisa menyensor realitas sesuai dengan kepentingan atau ideologi kepengarangannya. Dalam karya-karya berlatar belakang peristiwa 1965 yang ditulis oleh bukan penyintas, sensor itu terasa kuat. Contohnya, novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel yang seolah-olah menggemakan simpati terhadap penyintas peristiwa 1965 ini, semangat propaganda politik antikiri tergemakan dengan lantang. Hal tersebut dapat dilihat lewat penggambaran tokoh kirinya yang dekaden, baik secara moral maupun politik. Secara moral, seorang tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok yang gemar berselingkuh dengan pelacur demi merasakan ’’nafsu kaum proletar yang bergelora’’. Sementara itu, secara ideologi, dia diciptakan sebagai seseorang yang tidak berpendirian sehingga mudah terjebak dalam ’’kecelakaan sejarah’’. Hal ini jelas memperlihatkan bagaimana si pengarang telah menyensor realitas agar sesuai dengan kepentingannya.

’’Semuanya politis,’’ ucap Gottfried Keller. Karena itu, realitas dalam karya sastra juga bersifat politis. Seorang pengarang akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politisnya. Pun menyensor realitas demi kepentingannya sendiri, tanpa perlu diakui atau tidak. Semakin piawai seorang pengarang meramu kata, akan semakin cerdik pula caranya menyembunyikan semua itu. Di hadapan publik, dia bisa saja seorang pengarang misoginis yang dengan santai berceloteh perihal kehumanisan karya-karyanya. Atau, dia juga bisa menyaru sebagai pengarang pembela korban ketidakadilan, yang justru merendahkan mereka lewat narasi dan tokoh fiktif ciptaannya. Di sinilah kehadiran kritik sastra dan penikmat sastra yang kritis sangat diperlukan agar kita tidak gampang terkecoh oleh sebuah karya sastra. (*)

*) ANINDITA S. THAYF, Novelis dan esais

Saksikan video menarik berikut ini:

Berita dengan kategori