Kawah Candradimuka Bernama Kemlayan

Kawah Candradimuka Bernama Kemlayan

Terbaiknews - SUMBER INSPIRASI: Kampung Kemlayan di Solo menjadi tempat menempa dan membangun dunia kreatif warganya. (ARIEF BUDIMAN/JAWA POS RADAR SOLO)

Meski buku ini dinyatakan sebagai biografi tiga empu seni dari Kampung Kemlayan, tak terhindarkan bahwa bagian terbesar buku ini menyusuri sejarah perjalanan penari Sardono W. Kusuma.

SURAKARTA, biasanya disebut Solo, memang boleh mendaku diri sebagai kota budaya. Klaim ini sering kali ditujukan untuk mendukung program pengembangan pariwisata, tapi jarang sekali mendorong adanya upaya pencarian yang lebih dalam mengenai akar-akar sejarah kebudayaan, dinamika kebudayaan, serta para penggerak kebudayaannya.

Buku ini mungkin bisa jadi salah satu upaya substansial untuk benar-benar memperlihatkan bahwa identitas Solo sebagai kota budaya benar adanya. Buku yang ditulis dengan cara bertutur ini berkisah tentang kiprah tiga seniman asal Kemlayan, yang menurut penulisnya, merupakan kampung seniman.

Buku semibiografi ini berkisah tentang perjalanan sejarah berkesenian tiga seniman, bersumber utama dari dokumen sezaman seperti serat dan surat kabar berbahasa Jawa (Bromantani dan Darmo Kondho) dan juga sejarah lisan. Penulisnya, Heri Priyatmoko, adalah sejarawan muda yang sangat memberikan perhatian pada perkembangan sejarah Kota Solo.

Sebagai sejarawan yang memiliki keluasan informasi dan sumber-sumber tentang toponimi Kota Solo, penulis buku ini mengawali uraiannya tentang peta Kemlayan dalam hubungan politik dan budaya Keraton Surakarta sebagai sumber budaya Surakarta.

Peristiwa dan ritual kebudayaan yang diselenggarakan secara reguler sangat bergantung pada pasokan para pekerja (abdi dalem) budaya sehingga harus benar-benar didorong adanya klaster-klaster yang memungkinkan terasahnya proses kreatif tersebut. Kemlayan menjadi salah satu klaster yang bisa diandalkan.

Sekaten merupakan peristiwa budaya yang signifikan bagi terpeliharanya tradisi menabuh seperangkat alat gamelan. Juga, menjadi salah satu media mobilitas sosial bagi siapa saja yang bisa menjadi bagian dari tim penabuh Gamelan Sekaten Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari setiap perayaan Mauludan di Keraton Surakarta.

Inilah yang menjadi daya tarik para pemuda di Kampung Kemlayan untuk terlibat. Dan, berlatih tekun dalam latihan-latihan kelompok karawitan yang marak saat itu.

Penggambaran ekosistem seni budaya di Kampung Kemlayan ini menjadi latar belakang bab-bab selanjutnya dari buku ini yang berkisah tentang tumbuh, berkembang, dan misuwur-nya para empu seni tari dan karawitan dari Kampung Kemlayan. Seperti Sardono W. Kusuma, Mlayawidada, dan S. Ngaliman. Secara sepintas, penulis juga sempat menyatakan bahwa penari Suprapto Suryodarmo ternyata juga berasal dari Kampung Kemlayan.

Meski buku ini dinyatakan sebagai biografi tiga empu seni budaya dari Kampung Kemlayan, yaitu Sardono W. Kusuma, Mlayawidada, dan S. Ngaliman, tak terhindarkan bahwa bagian terbesar buku ini menyusuri sejarah perjalanan penari Sardono W. Kusuma.

Ini tentu bisa dimaklumi karena perkara ketersediaan sumber yang melimpah tentang Sardono. Orangnya juga masih hidup sehingga metode sejarah lisan bisa makin memperkaya bahan tentangnya, tentu dengan segala subjektivitas yang terkandung. Akan lebih menarik lagi sebenarnya jika penulis menelusuri maestro perempuan yang selama ini ’’tersembunyi’’ dalam penulisan sejarah.

Kisah tentang Sardono secara terperinci diulas mulai ’’bayi ceprot’’ hingga usia senjanya dengan segala kegelisahannya. Penulis buku ini mengulas kosmologi budaya Jawa yang terkandung dalam darah kesenimanan Sardono. Sekaligus menggambarkan gelegak pemberontakan melawan pakem dan kemapanan yang menghasilkan sejumlah ancaman dan tudingan merusak keadiluhungan budaya Jawa.

Kosmopolitanisme Sardono juga digambarkan sejak berkenalan dengan dunia luar, berinteraksi dengan seniman-seniman mancanegara. Residensi yang dilakukan Sardono, baik di Paris maupun di New York, punya kontribusi besar untuk mewarnai karya dia selanjutnya. Tak hanya koreografi yang estetis, tapi juga punya dimensi etis, bahkan sikap politis.

Penggambaran tentang otodidak Sardono seharusnya bukan sekadar perkara bahwa Sardono yang lulusan SMA bisa mendapat kepangkatan sebagai guru besar, bahkan sempat menjadi rektor Institut Kesenian Jakarta. Penulis buku ini seharusnya bisa menggambarkan bagaimana Sardono yang kosmopolit mendapatkan kedalaman pengetahuan sehingga karya-karyanya tak hanya diakui sebagai karya koreografi. Tapi juga bisa memperlihatkan Sardono sebagai arkeolog, antropolog, etnograf, atau juga sejarawan.

Biografi selanjutnya tentang empu tari Mlayawidada dan empu karawitan S. Ngaliman sebenarnya makin menegaskan tentang Kemlayan sebagai kawah candradimuka seni tari dan karawitan. Juga, menjadi sumur yang terus membasahi aktivitas berkesenian warga Kemlayan saat kampung tersebut semarak dengan dinamika seni budaya Jawa. Bagian ini sebenarnya akan lebih dalam disajikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bab awal yang menggambarkan ekosistem budaya Jawa di Kemlayan.

Beberapa kritik untuk buku ini, selain yang sudah disampaikan di atas, soal tak ada bahasan tentang proses kreatif Sardono dalam karya koreografinya, ’’Meta Ekologi’’, yang memicu kontroversi di media massa. Selain itu, buku ini akan makin berbobot jika ada bahasan khusus mengenai pembentukan pusat kebudayaan baru pasca kemerdekaan yang menjadi pemelihara tumbuh kembangnya seni budaya Jawa.

Di antaranya, RRI Surakarta (yang bukan sekadar stasiun penyiaran radio), Konservatori Karawitan, serta Sekolah Menengah Karawitan Indonesia dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (yang akhirnya menjadi SMK Kesenian dan Institut Seni Indonesia Surakarta). (*)


*) WAHYU SUSILO, Alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNS, pernah belajar tari di Sanggar PMS


Kawah Candradimuka Bernama Kemlayan

  • Judul: Satu Kampung Tiga Maestro, Biografi Sardono W. Kusuma, Mlayawidada, dan S. Ngalimin
  • Penulis: Heri Priyatmoko
  • Penerbit: Bukukatta, 2020 (ix + 254 halaman)

Berita dengan kategori