Pertamina Optimistis Laba Melonjak Jadi Rp 28 T di 2021

Pertamina Optimistis Laba Melonjak Jadi Rp 28 T di 2021

Terbaiknews - JakartaCNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) menargetkan laba bersih pada 2021 naik dua kali...

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) menargetkan laba bersih pada 2021 naik dua kali lipat menjadi US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28 triliun (asumsi kurs Rp 14.000 per US$) dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun pada 2020.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati kepada CNBC Indonesia, Kamis (04/02/2021).

"2020, realisasi laba bersih US$ 1 miliar. 2021, target laba bersih US$ 2 miliar," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (04/02/2021).


Dia mengatakan capaian kinerja keuangan Pertamina pada 2020 ini merupakan sesuatu yang penting, karena ini terjadi di kala perseroan menghadapi triple shocks karena pandemi Covid-19. Bahkan, sejumlah perusahaan migas kelas dunia mengalami kerugian besar pada 2020.

"Dan yang tidak kalah pentingnya adalah walaupun terkena triple shocks karena Covid-19 di tahun 2020, Pertamina berhasil membukukan keuntungan di atas US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun, di saat perusahaan-perusahaan migas dunia mengalami kerugian besar," tuturnya.

Berbicara di Energy Corner Special Edition: Energy Outlook 2021 di CNBC Indonesia, Nicke mengaku optimis bakal ada peningkatan kinerja pada tahun ini. Dia menjabarkan bahwa Pertamina telah menggenjot hulu migas pada 2020 dan berlanjut ke 2021.

"Dari sisi hulu, baik 2020 dan 2021 Pertamina tetap menggenjot hulu migas karena masih impor dan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan. Kita akan tingkatkan produksi migas. Pada 2020 di saat pandemi, produksi migas Pertamina hampir mencapai target dan tahun ini akan kami tingkatkan, dengan kontribusi mencapai 60% dari produksi nasional," jelas Nicke kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/2/2021).

Strategi yang kedua adalah Pertamina juga menggenjot produksi bahan bakar minyak (BBM) dari sisi kilang, sehingga produksi di dalam negeri bisa meningkat.

"Tahun ini sama dengan adanya kilang di Cilacap, maka solar produksi tetap optimal. Dari 2019 kita tak lagi impor solar, kita harus menurunkan impor," jelas Nicke.

Sementara itu dari sisi hilir, Nicke memprediksi terjadi peningkatan permintaan 10-20% dibandingkan dengan 2020. Untuk merespons hal ini, Pertamina pun akan tetap mendorong di sisi hilir ini karena akan menurunkan biaya operasi (Operating Expense/ Opex), sehingga harga akan lebih rendah.

Seperti diketahui pada awal pandemi Covid-19 pada Maret 2020, Pertamina mengalami triple shocks yakni penurunan harga minyak, penurunan permintaan minyak, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

"Pada 2021 kami lebih optimistis daripada 2020 karena akan ada peningkatan demand dan secara pondasi lebih kuat," tegasnya.

Pada awal pandemi tahun lalu, harga minyak menyentuh ke titik terendah pada April-Mei, bahkan harga minyak WTI sempat tercatat minus. Lalu, dari sisi permintaan minyak, saat awal pandemi di kala pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi aktvitas masyarakat, permintaan bahan bakar minyak secara nasional menurutnya turun hingga 25%. Bahkan, di sejumlah kota besar, penurunan permintaan BBM sempat anjlok lebih dari 50%.

Begitu juga dari sisi nilai tukar rupiah, saat awal pandemi sempat melemah, sehingga menurutnya ini berdampak cukup signfikan kepada bisnis sektor energi.

Namun demikian, kondisi tersebut justru dimanfaatkan Pertamina untuk mengimpor lebih besar. Dengan mengimpor saat harga minyak lagi rendah, maka menurutnya ini berdampak pada penurunan biaya pokok produksi perseroan, khususnya di semester kedua 2020 saat harga minyak mulai meningkat.

"April-Mei kita beli minyak dalam jumlah besar dan disimpan di landed storage dan kapal, sehingga berdampak ke penurunan biaya pokok produksi," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, perseroan juga melakukan penyesuaian dan efisiensi selama 2020, sehingga menekan biaya.

"Jadi, sektor energi harus melakukan efisiensi di 2020, untuk adjustment ke kondisi yang ada," ujarnya.

Sementara itu, perusahaan migas dunia seperti Exxon Mobil Corporation, Chevron Corporation, dan BP melaporkan kinerja keuangan mereka yang melemah sepanjang 2020. Ketiganya mencatatkan kerugian selama 2020.

BP, perusahaan migas asal Inggris, membukukan rugi bersih sebesar US$ 5,7 miliar selama 2020, anjlok signifikan dibandingkan dengan capaian laba bersih sebesar US$ 10 miliar pada 2019, seperti dikutip dari CNBC International, Selasa (02/02/2021).

Sementara Exxon Mobil mencatatkan kerugian sebesar US$ 20,1 miliar selama kuartal keempat 2020, menandai kerugian empat kuartal berturut-turut karena raksasa energi itu bergulat dengan dampak pandemi.

Chevron pun membukukan kerugian US$ 11 juta pada kuartal keempat 2020, membuat total kerugian selama 12 bulan sepanjang 2020 mencapai US$ 5,54 miliar, dibandingkan pencapaian laba sebesar US$ 2,92 miliar pada 2019.


[Gambas:Video CNBC]

(wia)

Berita dengan kategori