Mendag: Saya Nggak Mau Ekonomi Indonesia Pusing dan Lemah

Mendag: Saya Nggak Mau Ekonomi Indonesia Pusing dan Lemah

Terbaiknews - Manteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. (dok. Antara )

– Neraca perdagangan kerap mencatatkan surplus sepanjang 2020. Meski begitu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) tidak mau lengah. Sebab, surplus yang lahir dari penurunan tajam impor bahan baku itu justru bisa melemahkan kinerja produksi dalam negeri.

Manteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menyebutkan, nilai surplus perdagangan mencapai USD 21,7 miliar (sekitar Rp 305,13 triliun). Mungkin itulah nilai surplus tertinggi neraca perdagangan Indonesia sejak era reformasi 1998. Namun, nilai surplus tersebut bukan sepenuhnya indikator positif.

Pada kuartal III 2020, kinerja sektor perdagangan tercatat minus 5,09 persen. Kinerja sektor transportasi dan pergudangan juga minus 16,7 persen.

“Artinya, ada indikasi bahwa perdagangan tak jalan. Kalau didiamkan, ini justru bukan sesuatu yang baik,” ujar Lutfi saat memaparkan outlook perdagangan 2021 pada Jumat (29/1).

Dia menjelaskan, hampir tiga per empat impor Indonesia adalah bahan baku dan bahan penolong. Karena komoditas itu turun terus, kinerja industri dalam negeri juga surut. Sebab, konsumsi masyarakat juga turun.

“Ini merupakan multiplier effect yang sebenarnya negatif,” katanya.

Kondisi tersebut, menurut Lutfi, bisa menjadi ‘cedera’ yang berpotensi menghambat pemulihan ekonomi nasional. Dia menegaskan bahwa dirinya tidak mengejar surplus neraca perdagangan tahun ini.

Kini dia berfokus pada pemberian ‘vitamin’ terhadap perekonomian. Baik itu dengan memulihkan produksi maupun menaikkan konsumsi dalam negeri.

“Saya nggak mau ekonomi Indonesia pusing, saya nggak mau ekonomi Indonesia lemah. Itu tanggung jawab saya sebagai Mendag,” tegas Lutfi.

Dia berambisi menumbuhkan perekonomian nasional dan menjadikan konsumsi sebagai pilar dasar untuk memperbaikinya.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani mengakui bahwa surplus neraca perdagangan tahun lalu memang terhitung tinggi. Namun, kondisi itu memang tidak disebabkan peningkatan ekspor, melainkan penurunan impor.

“Kita harus berhati-hati melihat angka ini,” tuturnya.

Rosan mengungkapkan, fenomena tersebut bakal berdampak pada manufaktur. “Kita ketahui 70 persen dari impor adalah produk untuk barang modal dan bahan baku atau raw material kita. Jadi, penurunan ini berdampak pada sektor manufaktur kita,” jelasnya.

Secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut fenomena tersebut sebagai surplus semu. Kondisi itu terlihat sejak sebelum pandemi. Dalam waktu tiga sampai lima bulan kemudian, dampak penurunan impor bahan baku itu mengurangi produksi manufaktur.

Model industri manufaktur yang rentan terdampak, menurut Bhima, adalah tekstil dan pakaian. Dua sektor tersebut membutuhkan bahan baku impor yang tinggi. “Jika ini berlanjut, akibat yang bisa terjadi adalah PHK masal pada sektor manufaktur dan logistik. Angka pengangguran pasti naik,” ungkap Bhima kepada Jawa Pos.

Untuk mengantisipasi itu semua, tahun ini pemerintah perlu memperbesar stimulus pada sisi permintaan. Dalam waktu bersamaan, pemerintah harus mampu meredam persebaran virus SARS-CoV-2. Salah satunya melalui vaksinasi. Begitu pula stimulus bantuan subsidi upah (BSU) yang sebaiknya tetap dilanjutkan hingga akhir tahun.

Bhima menuturkan, BSU bisa mendongkrak daya beli masyarakat. Khususnya kalangan menengah atau karyawan.

STRUKTUR IMPOR INDONESIA

Jenis Impor | Nilai (dalam miliar USD)

2019 | 2020

Barang/Konsumsi | 16,45 | 14,66

Bahan Baku/Penolong | 126,36 | 103,21

Barang Modal | 28,47 | 23,70

TREN PENURUNAN KOMODITAS IMPOR

Produk | Penurunan (yoy)

Kendaraan Bermotor Suku Cadang | 38%

Besi Baja | 34,1%

Kapas | 32,8%

Filamen Buatan | 29,9%

Aluminium | 25,2%

Sumber: Kemendag

Berita dengan kategori