LSI: Pengusaha Nilai 58 Persen Praktik Korupsi Terus Mengalami Peningk

LSI: Pengusaha Nilai 58 Persen Praktik Korupsi Terus Mengalami Peningk

Terbaiknews - Ilustrasi: Praktik Korupsi (Dok.JawaPos.com)

JawaPos.com – Pengusaha menilai 58 persen praktik korupsi di Indonesia mengalami peningkatan dalam dua tahun terakhir. Hal ini diketahui setelah Lembaga Survei Indonesia (LSI) menggali opini dari para pelaku usaha pada 17 Desember 2020 – 7 Januari 2021 dan kalangan pemuka opini pada 20 Desember 2020 – 25 Januari 2021.

“Temuan menilai lebih banyak meningkat, dibanding yang menilai menurun. Ini memiliki kesamaan dengan penilaian yang diberikan oleh masyarakat umum dalam survei LSI pada November – awal Desember 2020 (46 persen) dan Desember 2020 (56 persen),” kata Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan dalam konferensi pers daring, Minggu (7/2).

Dia menegaskan, fenomena korupsi masih dinilai sebagai hal yang terus mewarnai semua kalangan masyarakat. Karena masyarakat umum juga sebelumnya menilai, 56 persen praktik korupsi di Indonesia meningkat dalam survei yang dilakukan pada Desember 2020.

Djayadi menuturkan, dalam survei ini juga menyebut sekitar 25,2 persen menilai tidak mengalami perubahan. Sementara itu, hanya 8,5 persen menilai praktik korupsi mengalami penurunan.

“Persepsi ini seiring dengan toleransi terhadap suap atau gratifikasi yang cukup tinggi. Karena sekitar 23,4 persen menganggap wajar bahwa memberikan sesuatu seperti uang, barang, hiburan, hadiah di luar persyaratan/ketentuan untuk memperlancar suatu proses atau sebagai bentuk terima kasih ketika berhubungan dengan instansi pemerintah,” cetus Djayadi.

Menurut Djayadi, pemuka opini yang menjadi responden survei ini sebanyak 1.008 orang dari 36 kota di Indonesia.

Survei LSI: 51 Persen Pelaku Usaha Tidak Puas dengan Kinerja KPK

Responden dipilih karena dikenal sebagai intelektual, tokoh yang memiliki wawasan politik, hukum, atau ekonomi luas, mengikuti perkembangan politik nasional secara intensif, menjadi narasumber media massa, atau aktif terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan, atau organisasi.

Responden datang dari tiga latar belakang, yakni akademisi, LSM/Ormas, dan media massa. Karena tidak tersedianya data populasi Pemuka Opini, maka pemilihan responden tidak dilakukan secara random.

“Pemilihan responden dilakukan secara purposif, terutama dicari dari media massa nasional atau daerah,” pungkas Djayadi.

Saksikan video menarik berikut ini:

Berita dengan kategori