Jokowi: Stabilitas di Laut China Selatan Tercipta jika Semua Negara Hormati UNCLOS 1982

Jokowi: Stabilitas di Laut China Selatan Tercipta jika Semua Negara Hormati UNCLOS 1982

Terbaiknews - ,- Presiden Joko Widodo mengatakanstabilitas di Laut China Selatan akan tercipta apabila semua...

,- Presiden Joko Widodo mengatakan, stabilitas di Laut China Selatan akan tercipta apabila semua negara yang terlibat menghormati hukum internasional.

Hal itu diungkapkan Jokowi usai menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin di Istana Merdeka, Jumat (4/2/2021).

Dalam pertemuan itu dibahas sejumlah isu dunia, antara lain soal kudeta militer Myanmar, persoalan Rohingnya hingga Laut China Selatan.

Bertemu Menlu China, Retno: Jaga Laut China Selatan dengan Hormati UNCLOS 1982

"Kita juga bertukar pikiran tentang stabilitas dan keamanan kawasan. Saya menekankan bahwa stabilitas akan tercipta, termasuk di Laut China Selatan jika semua negara menghormati hukum internasional," ujar Jokowi saat menyampaikan keterangan pers yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.

"Terutama (menghormati) UNCLOS 1982 (konvensi hukum laut PBB tahun 1982)," lanjutnya.

Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan, soal tuntutan maritim di perairan Laut China Selatan tersebut dan penyelesaiannya hendaklah dibuat secara aman berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang antarabangsa yang disepakati secara universal. Termasuk di dalamnya UNCLOS 1982.

Menurut Muhyiddin, semua pihak perlu menghindari tindakan yang menimbulkan ketegangan dan bersifat provokatif (self–restraint) serta tindakan militer.

"Malaysia berkomitmen untuk menyelesaikan isu-isu berkaitan Laut China Selatan secara konstruktif, menggunakan forum dan saluran diplomatik yang sesuai," tutur Muhyiddin.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.

Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.

Indonesia Disebut Bisa Jadi Penengah Ketegangan AS-China di Laut China Selatan

Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.

Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional.

Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.

Berita dengan kategori