Habis Stimulus Terbitlah Fulus

Habis Stimulus Terbitlah Fulus

Terbaiknews - ANGGARANpendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 sudah tutup buku. Penanggulangan dampak...

ANGGARANpendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 sudah tutup buku. Penanggulangan dampak sosial-ekonomi dari pagebluk Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional menjadi lakon utama yang membentuk mozaik kebijakan fiskal ekspansif sepanjang tahun lalu.

Defisit yang menjadi ’’roh’’ APBN 2020 melejit hingga Rp 956,2 triliun atau setara dengan 6,09 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pembiayaan defisit dengan penerbitan utang negara yang meningkat 180 persen dari tahun sebelumnya menaikkan rasio utang ke level 38 persen dari PDB.

Melebarnya defisit APBN 2020 secara yuridis memang ditoleransi oleh Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020. Namun, mulai APBN 2023 harus patuh kembali pada aturan baku UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi rasio defisit maksimum 3 persen dari PDB.

Di satu sisi, beban pembayaran bunga utang akan terasa selama 10 tahun mendatang. Di sisi lain, sebagian besar belanja pemerintah pusat merupakan belanja wajib. Sempitnya ruang fiskal membersitkan kekhawatiran atas keberlanjutan fiskal yang menuntut penyesuaian yang substansial.

Alhasil, konsolidasi fiskal menjadi subjudul APBN 2021. Konsolidasi fiskal ditandai dengan penurunan secara bertahap rasio defisit dan rasio utang sampai batas yang dianggap ’’aman’’. Dari dua opsi konsolidasi fiskal yang tersedia, pemerintah agaknya memilih strategi penaikan penerimaan daripada pengurangan belanja negara.

Kecenderungan itu mulai kelihatan. Lembaga pengelola investasi (sovereign wealth fund) diinisiasi untuk mendayagunakan sumber dana dari luar negeri demi mendorong kegiatan penanaman modal di semua sektor ekonomi. Potensi dana domestik akan dimobilisasi lewat gerakan wakaf uang.

Dari sisi fiskal, menteri keuangan mencetuskan kembali wacana pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR (27/2). Usulan itu menjadi kelanjutan dari cukai kantong plastik yang tahun lalu sudah disetujui DPR dan tahun ini diharapkan bisa dieksekusi.

Tak lama berselang, menteri keuangan juga mengeluarkan peraturan tentang penghitungan dan pemungutan PPN (pajak pertambahan nilai) dan PPh (pajak penghasilan) terkait dengan penjualan pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer. Ketentuan yang berlaku mulai 1 Februari 2021 ini sejalan dengan implementasi pajak perdagangan elektronik dan pajak digital lainnya yang dirilis sebelumnya.

Apa arti semua ini? Kenaikan pajak, cukai, dan sejenisnya di atas sejatinya adalah harga yang harus dibayar oleh publik atas sejumlah stimulus yang sudah digelontorkan sepanjang tahun lalu. Dalam perspektif ekonomi dikenal prinsip ’’who gets who pays’’ yang bermakna dia yang dapat dia jugalah yang harus bayar.

Prinsip itu tampaknya sejalan dengan pepatah Barat ’’there is no such thing as a free lunch’’, yang berarti tidak ada makan siang yang gratis. Konkretnya, tidak mungkin memperoleh hasil tanpa pengorbanan. Pengorbanan hanya masalah waktu. Cepat atau lambat, ’’makan siang’’ itu harus ditebus.

Alhasil, semua pelaku ekonomi diminta ’’kerelaannya’’ untuk bersama-sama memikul beban fiskal agar rasio defisit cepat mengempis dan rasio utang tidak terus membengkak. Dan pihak pertama yang harus siap menanggung beban adalah mereka yang paling besar menikmati stimulus selama masa pandemi Covid-19.

Narasi di sektor riil di atas niscaya juga akan terjadi di sektor keuangan. Pembelian BI atas surat berharga negara untuk pendanaan APBN 2020 dan skema burden sharing juga akan dikonsolidasikan. BI suatu saat akan menjual SBN di pasar finansial dengan konsekuensi ada aliran likuiditas dari pasar ke BI.

Cara di atas paling mudah dilakukan pemerintah meski menyisakan risiko. Mengikuti mazhab Keynesian, pemerintah pada masa resesi harus menempuh kebijakan fiskal aktif guna merangsang permintaan agregat alih-alih menaikkan penerimaannya. Intinya, aliran Keynesian menentang konsolidasi fiskal.

Jika mengikuti aliran neoklasik, pengendalian defisit lewat konsolidasi fiskal tetap akan berdampak positif. Penaikan pendapatan pemerintah mengarah pada intensitas utang yang kemudian mengendurkan tekanan pada suku bunga. Akibat selanjutnya, konsumsi dan investasi sektor privat bisa tumbuh.

Lain halnya dengan paradigma Ricardian, pelaku ekonomi sudah mengantisipasi peningkatan utang pemerintah yang akan diikuti kenaikan pajak. Mereka meresponsnya dengan menunda konsumsi dan menimbun tabungan untuk jaga-jaga. Karena itu, dampak neto dari konsolidasi fiskal akan netral.

Perbedaan simpulan akhir di antara ketiga narasi di atas berangkat dari perbedaan kondisi awal saat konsolidasi fiskal dimulai. Keynesian beranggapan perekonomian dalam jangka pendek mengalami pengangguran sumber daya. Neoklasik bertitik tolak dari perspektif jangka panjang tentang kelangkaan sumber daya.

Mengutuk Kudeta Militer Myanmar

Sementara itu, Ricardian beranjak dari optimalitas pelaku ekonomi mengelola sumber daya dalam rentang waktu tak terbatas. Perbedaan kondisi awal tersebut mendorong respons sektor privat yang berlainan pula. Respons yang berlainan pada gilirannya menghasilkan perbedaan efektivitas konsolidasi fiskal.

Alhasil, imbal korban (trade-off) pun tak terhindarkan. Konsolidasi fiskal yang berbasis kenaikan pajak bisa menurunkan rasio defisit, tetapi dengan risiko perekonomian mengalami resesi yang lebih panjang. Pemangkasan belanja negara (jika opsi ini ditempuh) juga bisa menyusutkan rasio defisit, tetapi harus dibayar dengan perlambatan ekonomi.

Pertanyaan mendasarnya adalah seberapa cerdas sikap masyarakat dalam mengantisipasi kebijakan konsolidasi fiskal? Sudah siapkah publik menyisihkan sumber daya untuk merespons kenaikan pajak setidaknya dalam tiga tahun ke depan? Tanpa kesadaran itu, habis stimulus terbitlah fulus menjadi keniscayaan.(*)


*) Haryo Kuncoro, Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Saksikan video menarik berikut ini:

Berita dengan kategori